Kejawen Permata Asli Nusantara

    Kejawen Permata Asli Nusantara

    Budaya leluhur Selalu Dicurigai budaya pendatang.
    Catatan: KP Norman Hadinegoro, SE.MM.

    Jakarta 2023

    Kejawen, dalam perkembangan sejarahnya nusantara mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS).
    Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya leluhur Jawa itu hina, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga dipaksakan harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga.

    Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.

    Selain itu “pendatang baru” masuk ke nusantara selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan budaya tradisi. dengan cara memberikan contoh-contoh negatif, “pendatang baru” menganggap kejawen ajaran kesesatan.

    Tidak berhenti disitu saja, kekuatan ajaran pendatang baru terus mendiskreditkan manusia kejawen dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau.
    Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “ajaran pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”.

    Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;
    Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.

    Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.

    Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.

    Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat.

    Maka manusia kejawen dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan.
    Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manyembah kapada Tuhan.

    Bagi manusia kejawen, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul.

    Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur

    Ajaranpendatang baru menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.

    sukabumi jabar jakarta kp. norman hadinegoro
    Aa Ruslan Sutisna

    Aa Ruslan Sutisna

    Artikel Sebelumnya

    Bhabinkamtibmas Polsek Cicurug, Aipda Romal,...

    Artikel Berikutnya

    Kapolres Sukabumi AKBP Maruly Pardede Memeriahkan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Rakorwas Inspektorat TNI-Kemhan 2024: Perkuat Sinergitas untuk Mewujudkan TNI yang PRIMA
    Panglima TNI Hadiri Rakor Lintas Sektoral Kesiapan Operasi Lilin 2024
    Menjadi Urang Lengayang: Sebuah Cerita tentang IKWAL, Keluarga Besar yang Tak Terpisahkan
    Desak: Kami Ojol Pekerja, Bukan Mitra, Lawan Rezim Aplikator Yang Eksploitasi Ekstrim,

    Ikuti Kami